Minggu, 05 Oktober 2008

Kekuatan komitmen


Rini sangat kesal. Sudah berkali-kali dia ditelepon seseorang bernama Susi yang menawarkan suatu produk jasa kepadanya. Susi ini benar-benar bandel. Rini sudah bilang bahwa dia tidak perlu, eh tetap saja ditawari. Katanya, siapa tahu kalau suatu saat perlu. Rini bilang tidak punya uang, eh dia engatakan bahwa Rini boleh membayar sebagian dulu, tidak perlu langsung dilunasi.

Bahkan dia menyarankan agar Rini menggunakan uang tunjangan hari raya untuk membeli produknya. Waktu Rini bilang dia biasa menggunakan uang tersebut untuk pulang kampung dan ditabung, eh dia menyarankan agar Rini menggunakan transport yang lebih murah saja untuk pulang kampung dan sebaiknya menabung setiap bulan dari uang gajian daripada menabung setahun sekali. Bunganya lebih besar, katanya. Aduuh, bisa aja dia ngomong.

Sebenarnya Rini bisa mengerti mengapa Susi sangat gigih. Dia sendiri juga bekerja di bagian penjualan. Rini cukup terkenal sebagai penjual yang paling gigih dan paling berprestasi, karena itu dia dipromosikan sebagai penyelia. Semua orang di perusahaan itu mengagumi prestasinya. Tapi giliran bertemu Susi, Rini geleng-geleng kepala. Kalah deh dia.

Karena Rini memang tidak tertarik dengan produk yang ditawarkan Susi, maka dia selalu menolak. Karena tidak tahan, Rini ingin mengakhirinya. Maka, Rini kemudian menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak mau. Rini tahu bahwa dia tidak perlu lagi mengemukakan alasan apapun. Dia hanya berkata dengan tegas bahwa dia tidak mau membeli. "Mengapa?" tanya Susi. "Ga apa-apa. Pokoknya tidak mau," jawab Rini.

Akhirnya Susi menanyakan apakah dia boleh menelpon lagi minggu depan. Rini mengatakan:" Tidak usah". "Bagaimana kalau bulan depan?" "Tidak perlu". Susi beluim putus asa. "Bagaimana kalau tiga bulan lagi?" "Percuma", kata Rini, "Saya tidak akan beli". "Kalau saya menelepon setahun lagi?", tanya Susi. Tawa Rini hampir meledak. Setahun lagi? Lama amat? "Boleh deh" katanya. Masih lama ini. Mana mungkin dia ingat.

Sejak hari itu, Rini terbebas dari Susi. Tapi dia belajar satu hal, kegigihan Susi membuatnya ingin meningkatkan dirinya. Susi tidak pernah sakit hati. Susi selalu tersenyum. Sikapnya terhadap orang lain tidak berubah meskipun orang lain tidak senang terhadapnya. Susi tetap ramah dan sopan. Kelihatan sekali, Susi sangat menyenangi pekerjaannya. Susi tidak menganggap proses menjual sebagai beban, sehingga dia bisa merasa sakit hati apabila gagal. Tidak. Susi menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Pernah Rini bertanya kepada Susi mengenai hal ini. Tapi Susi dengan gembira menjawab bahwa tak ada seorangpun yang harus membeli produknya. Kalau mereka tidak mau, ya tidak apa-apa. Memangnya setiap orang harus mau kalau ditawari suatu produk? Mana ada aturan begitu? Kalau suka, pasti orang akan membelinya, kalau tidak suka ya tidak apa-apa.

Rini ingin berusaha lebih baik. Bukan supaya dipuji atau dikagumi. Tapi supaya dia bisa merasakan kenikmatan dalam melakukan pekerjaannya. Dalam hatinya Rini tahu, dia belum seperti Susi yang tampak begitu menyukai pekerjaannya. Rini mulai mendisiplin dirinya sendiri. Pada saat-saat ingin bermalasan, maka Rini sengaja bekerja lebih giat, lebih banyak menelepon, lebih banyak bertemu calon pelanggan. Pada saat lelah, Rini beristirahat sebentar hanya untuk memulihkan staminanya. Setelah itu langsung mulai bekerja lagi.

Belum satu bulan, Rini sudah mampu meningkatkan prestasinya lebih jauh. Diam-dia dia berterima kasih pada Susi. Susilah yang membangkitkan semangat kerjanya. Entah dimana kini Susi berada.

Tiga hari yang lalu, tiba-tiba ada orang menelepon ke kantor. Ternyata Susi! Susi hanya berkata: "Mbak Rini, saya Susi dari PT ........Saya pernah berjanji kepada mbak Rini untuk menelepon Mbak setahun lagi kan? Hari ini sudah tepat satu tahun sejak saya berjanji dulu. Makanya hari ini saya menelepon mbak Rini."

Hebat! Rini sudah lupa janji itu. Siapa sih yang mau mengingat-ingat janji pertemuan tahun lalu? Rini memang tidak menyangka kalau Susi akan menepati janjinya. Dulu waktu Susi berjanji, Rini menertawakannya. Kini, Rini mengaguminya. Salut deh.

Rini sampai malu rasanya. Selama ini Rini memang sering melupakan janjinya. Sering sekali sih tidak, tapi ada beberapa kali jugalah. Kini Rini berniat lebih menepati semua janjinya. Dia ingin seperti Susi. Begitu selesai mengucapkan janji, Susi selalu langsung menuliskan janji tersebut di buku agendanya agar tidak lupa. Setiap awal tahun, Susi selalu memindahkan semua janji yang belum ditepati ke agenda yang baru. Pantas, tidak ada janji yang terlupakan.

Komitmen adalah sesuatu yang sedapat mungkin dihindari, berbagai jurus diciptakan manusia untuk dapat menghindari komitmen. Tetapi komitmen selalu dihargai ketika dimiliki oleh orang lain.

Komitmen menjadi momok yang ditakuti karena ia menuntut kita untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.

Tetapi, sesungguhnya, ia adalah sesuatu yang dilakukan orang bagi dirinya sendiri.

Setiap komitmen yang kita buat akan menentukan kembali jati diri kita.

Membuat sebuah komitmen bukanlah tentang melaksanakan sebuah tanggung jawab baru, karena hal tersebut adalah tentang menyadari bahwa kita telah memiliki tanggung jawab itu sendiri. Ia adalah sebuah ukuran penghormatan kita pada diri sendiri.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

well its nice to know that you have great hits here.